Selasa, 26 Maret 2013

Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI)

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 4 menyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”. Perlunya perhatian khusus kepada anak CIBI merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal.
Pengembangan potensi tersebut memerlukan strategi yang sistematis dan terarah. Tanpa layanan pembinaan yang sistematis terhadap siswa yang berpotensi cerdas istimewa, bangsa Indonesia akan kehilangan sumber daya manusia terbaik.
Strategi pendidikan yang ditempuh selama ini bersifat masal memberikan perlakuan standar/rata-rata kepada semua siswa sehingga kurang memperhatikan perbedaan antar siswa dalam kecakapan, minat, dan bakatnya. Dengan strategi semacam ini, keunggulan akan muncul secara acak dan sangat tergantung kepada motivasi belajar siswa serta lingkungan belajar dan mengajarnya. Oleh karena itu perlu dikembangkan keunggulan yang dimiliki oleh siswa agar potensi yang dimiliki menjadi prestasi yang unggul.
Perhatian khusus tersebut tidak dimaksudkan untuk melakukan diskriminasi, tetapi semata-mata untuk memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi siswa. Melalui penyelenggaraan pendidikan khusus untuk siswa CIBI, diharapkan potensi-potensi yang selama ini belum berkembang secara optimal, akan tumbuh dan mampu menunjukkan kinerja terbaik.
Diperkirakan terdapat sekitar 2,2% anak usia sekolah memiliki kualifikasi CIBI. Menurut data BPS tahun 2006 terdapat 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya terdapat sekitar 1.059.796 anak CIBI di Indonesia. Berdasarkan data Asossiasi CIBI tahun 2008/9, Jumlah siswa CIBI yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 9551 orang yang berarti baru 0,9% siswa CIBI yang terlayani. Ditinjau dari segi kelembagaan, dari 260.471 sekolah, baru 311 sekolah yang memiliki program layanan bagi anak CIBI. Itupun baru terbatas program yang berbentuk akselerasi. Sedangkan di madrasah, dari 42.756 madrasah, baru ada 7 madrasah yang menyelenggarakan program aksel. Ini berarti masih sangat rendah sekali jumlah sekolah/madrasah yang memberikan layanan pendidikan kepada siswa CIBI, serta keterbatasan dari ragam pelayanan.
B.Rumusan Masalah
a. bagaimana pengertian anak CIBI dan karakteristiknya ?
b. bagaimana prinsip dan prosedur identifikasi bagi anak CIBI?
c. bagaimana model identifikasi bagi anak CIBI ?
d. bagaimana strategi dan prinsif diferensieasi kurikulum bagi anak CIBI disekolah dalam setting inklusi?
e. bagaimana framework pengembangan kurikulum bagi anak CIBI?
C.Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami pengertian serta karakteristik anak CIBI, memahami prinsif dan prosedur identifikasi serta model identifikasi bagi anak CIBI , memahami strategi dan prinsif diferensiasi kurikulum bagi anak CIBI dalam setting inklusi serta memahami framework pengembangan kurikulum bagi anak CIBI.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ANAK CIBI dan KARAKTERISTIKNYA
a. Pengertian anak CIBI
Menurut definisi yang dikemukakan Renzuli, anak berbakat memiliki pengertian, “anak berbakat merupakan satu interaksi diantara tiga sifat dasar manusia yang menyatu ikatan terdiri dari kemampuan umum dengan tingkatnya di atas kemampuan rata-rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas-tugas dan kretivitas yang tinggi. Anak berbakat ialah anak yang memiliki kecakapan dalam mengembangkan gabungan ketiga sifat ini dan mengaplikasikan dalam setiap tindakan yang bernilai. Anak-anak yang mampu mewujudkan ketiga sifat itu masyarakat memperoleh kesempatan pendidikan yang luas dan pelayanan yang berbeda dengan program-program pengajaran yang regular. (Swssing,1985)
b. Karakteristik anak CIBI
Anak-anak gifted bukanlah anak dengan populasi seragam, ia mempunyai banyak variasi, baik variasi pola tumbuh kembangnya, variasi personalitasnya, maupun variasi keberbakatannya. Semakin tinggi perkembangan inteligensianya, maka akan terjadi deskrepansi (perbedaan) di berbagai domain perkembangan. Deskrepansi ini bukan saja akan menyangkut perkembangan dalam individu, tetapi juga akan menyangkut perkembangan antar individu. Kondisi inilah yang sering membawa berbagai kesulitan pada anak-anak gifted dan sering salah terinterpretasi (Silverman, 2004).
Sebagian besar anak gifted akan mengalami perkembangan motorik kasar yang melebihi kapasitas normal, namun mengalami ketertinggalan perkembangan motorik halus. Saat ia masuk ke sekolah dasar, umumnya ia mengalami kesulitan menulis dengan baik. Banyak dari anak-anak ini diberi hukuman menulis berlembar-lembar yang justru tidak menyelesaikan masalahnya bahkan akan memperberat masalah yang dideritanya. Anak-anak gifted adalah anak-anak yang sangat perfeksionis, sehingga perkembangan kognitif yang luar biasa tidak bisa ia salurkan melalui bentuk tulisan. Hal ini selain dapat menyebabkan kefrustrasian dan juga dapat menyebabkan kemerosotan rasa percaya diri, konsep diri yang kurang sehat serta anjlognya motivasi untuk berprestasi.
Deskrepansi antara perkembangan kognitif dan ketertinggalan motorik halus, ditambah karakteristik perfeksionisnya bisa menimbulkan masalah yang cukup serius baginya, terutama kefrustrasian dan munculnya konsep diri negatip, ia merasa sebagai anak yang bodoh tidak bisa menulis. Namun seringkali pendeteksian tidak diarahkan pada apa akar permasalahan yang sebenarnya, dan penanggulangan hanya ditujukan pada masalah perilakunya yang dianggap sebagai perilaku membangkang.
Anak cerdas (brigth/higt achiever) berbeda dengan dengan anak CIBI (gifted) dan anak-anak cerdas tidak bisa dimaksukkan ke dalam kelompok gifted karena mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Sekalipun mereka juga memiliki tingkat intelegensi yang tinggi, namun kemampuan mereka dalam analisis, abstraksi dan kreativitas tidak seluar biasa anak-anak CIBI.
B. PRINSIF DAN PROSEDUR IDENTIFIKASI BAGI ANAK CIBI
Identifikasi dapat diartikan proses mengenali anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa sehingga diperlukan layanan berdiferensiasi agar mereka dapat berkembang secara penuh seperti potensi yang dimilikinya. Identifikasi anak berbakat bertujuan untuk mendapatkan anak berbakat dan mengembangkannya secara khusus dan optimal. Adapun tokoh yang dapat mengidentifikasi adalah:
a. Ahli pendidikan, dan psikolog
b. Tenaga kependidikan
c. Orang tua murid, murid, dan anggota keluarga lainnya.
d. Teman sekolah atau sebaya
e. Kelompok atau tokoh-tokoh masyarakat.
Prinsip identifikasi yang perlu diperhatikan (Klein, 2006; Porter, 2005) Cerdas Istimewa merupakan suatu fenomena yang kompleks sehingga identifikasi hendaknya dilakukan secara multidimensional, yaitu:
1. Menggunakan sejumlah cara pengukuran untuk melihat variasi dari kemampuan yang dimiliki oleh siswa cerdas istimewa pada usia yang berbeda.
2. Mengukur bakat-bakat khusus yang dimiliki untuk dijadikan acuan penyusunan program belajar bagi siswa cerdas istimewa.
3. Tidak hanya memperhatikan hal-hal yang sudah teraktualisasi, namun juga mengidentifikasi potensi.
4. Identifikasi tidak hanya untuk mengukur aspek kognitif, namun juga motivasi, minat, perkembangan sosial emosional serta aspek non kognitif lainnya.
Pada hakikatnya masalah identifikasi anak berbakat mencakup 2 hal yaitu mengenal ciri-ciri anak berbakat, dan berdasarkan pengenalan ciri-ciri anak berbakat mengembangkan cara untuk mengidentifikasi anak-anak tersebut.
Ciri-ciri anak berbakat sebagai berikut:
1. Ciri fisik seperti perkembangan psikomotorik lebih cepat dari anak rata-rata.
2. Ciri-ciri mental-intelektual, usia mental lebih tinggi daripada rata-rata anak normal. Daya tangkap dan pemahaman lebih cepat dan luas, memiliki hasrat ingin tahu yang besar, kreatif, dan berciri khas.
3. Ciri emosional seperti percaya diri yang kuat, peka terhadap situasi, dan menyukai hal baru.
4. Ciri sosial seperti suka bergaul dengan orang yang lebih tua, suka permainan yang mengandung pemecahan maslah, dan suka bekerja sendiri.
Beberapa kemungkinan teknik identifikasi anak berbakat yang dapat dilakukan disekolah, ialah :
a. Penggunaan tes kecerdasan
Untuk keperluan identifikasi keberbakatan dapat di lakukan dalam dua tahap, yaitu tahap penjaringan dan tahap seleksi. Tahap penjaringan dapat dilakukan secara kelompok dengan menggunakan tes kelompok. Secara intelektual, anak yang dapat digolongkan kedalam anak berbakat adalah mereka yang memiliki IQ 130 ke atas.
Biasanya tes aptitude seperti tes intelegensi, dan tes prestasi belajar. Tes progressive Matrices disarankan karena menurut Jensen merupakan tes intelegensi umum yang paling “culture free”. Tes tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh status sosio-ekonomis. Orang-orang yang tidak berpendidikan dapat mencapai skor yang tiggi pada tes PM. Keuntungannya ialah bahwa dalam waktu singkat dapat diperoleh keterangan mengenai tingkat kemmapuan mental anak.
Tahap berikutnya di lakukan seleksi, dan untuk keperluan seleksi ini digunakan tes individual agar memberikan hasil pengukuran yang lebih teliti, cermat dan akurat. Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) adalah tes kecerdasan individual yang dapat digunakan, untuk mengidentifikasi keberbakatan. Masalah utama yang di hadapi dalam teknik ini ialah karena dalam penggunaan tes kecerdasan hanya bisa di lakukan oleh orang tertentu yang berkeahlian dalam hal itu. Akibatnya penggunaan teknik ini memiliki keterbatasan.
b. Studi kasus
Prestasi akademik dan perilaku-perilaku non akademik, dapat dijadikan indikator dari keberbakatan seseorang. Identifikasi anak berbakat dengan menggunakan teknik ini dilakukan dengan jalan menghimpun berbagai informasi tentang anak dari berbagai sumber baik orang tua, guru, teman sebaya atau pihak lain. Di dalam studi kasus semacam ini boleh tidak menggunakan tes kecerdasan melainkan lebih banyak menggunakan wawancara, pengamatan, pencatatan, studi dokumentasi yang berkenaan dengan riwayat perkembangan anak. Masalah yang mungkin terjadi dalam teknik ini ialah validitas pengamatan dan penghimpunan informasi, hingga mana pengamatan dan pencatatan informasi tidak dipengaruhi oleh bias-bias pribadi. Untuk itu studi kasus menghendaki pengamatan dan pencatatan yang berkelanjutan dan tidak berlangsung hanya sesaat.
Penyaringan dan identifikasi anak berbakat perlu memperhatikan faktor-faktor yang mungkin menghambat perkembangan keberbakatan.
Keberbakatan akan ada di dalam berbagai kelompok masyarakat dan kebudayaan. Akan tetapi sering kali keberbakatan itu tidak muncul karena ada hambatan sosial budaya. Faktor sosial budaya yang tidak kondusif untuk perkembangan keberbakatan akan menjadikan anak berbakat dalam status tidak beruntung, yaitu anak berbakat yang karena faktor bahasa, keadaan kebudayaan, kehidupan ekonomi, lingkungan keluarga yang merugikan mengalami hambatan pengembangan kemampuan intelektual dan kreativitasnya.
Mengingat faktor-faktor ini maka hasil tes tidak selalu mutlak dapat di jadikan tolak ukur keberbakatan.
Strategi pendidikan yang ditempuh selama ini bersifat masal memberikan perlakuan standar/rata-rata kepada semua siswa sehingga kurang memperhatikan perbedaan antar siswa dalam kecakapan, minat, dan bakatnya. Dengan strategi semacam ini, keunggulan akan muncul secara acak dan sangat tergantung kepada motivasi belajar siswa serta lingkungan belajar dan mengajarnya. Oleh karena itu perlu dikembangkan keunggulan yang dimiliki oleh siswa agar potensi yang dimiliki menjadi prestasi yang unggul.
Mengingat situasi dan kondisi Indonesia, yaitu bahwa sebagian penduduk tinggal di daerah terpencil maka dalam prosedur identifikasi hendaknya diberikan prioritas terhadap studi kasus, yaitu dengan menghimpun informasi tentang anak berbakat dari berbagai pihak, berdasarkan observasi terarah, dan dengan menelaah record prestasi dan karya. Lalu tahap selanjutnya identifikasi anak berbakat dilakukan dengan tes yang dibakukan.
C. MODEL IDENTIFIKASI BAGI ANAK CIBI
1. Model Identifikasi Anak Berbakat
Terdapat beberapa model untuk mengidentifikasi anak berbakat yaitu:
1. Model Renzulli
Menurut Renzulli kinerja seseorang secara khusus dipengaruhi oleh motivasi yang muncul dalam komitmen menyelesaikan tugasnya; dan ketiga dimensi ini saling berhubungan. Ini berarti setiap identifikasi harus mewakili kawasan-kawasan tersebut, bila ingin menyelenggarakan pendidikan bagii anak berbakat. Meskipun dua kawasan yang mendampingi kemampuan intelektual adalah kawasan non intelektual, namun kawasan non intelektual ini sangat menentukan kinerja intelektual seseorang. Oleh karenanya ia beranggapan bahwa ketiga kawasan tersebut saling berinteraksi. “Three-ring-interaction” atau interaksi tiga lingkaran ini (ITL) mencangkup komitmen terhadap tugas, kreativitas dan kemampuan intelektual umum. Konsep kebrbakatan ini menunjuk pada mereka sebagai yang berbakat bila di dalam berbagai kegiatan khusus yang dilakukan produktivitasnya ternyata beranjak pada komitmen dalam kegiatannya. Konsep ini dianggap menarik, karena dalam mengidentifikasikan superioritas seseorang, perkembangan yang luar biasa diperhatikan setelah dalam pelaksanaan suatau tugas memperlihatkan kreativitas dan komitmen pada tugas tersebut.
Pendekatan Renzulli penting karena sangat membedakan orang berbakat dari yang biasa-biasa saja disebabkan factor motivasi dan kreativitas, serta prosedur identifikasinya yang terkenal dengan SEM.
2. Model Cohn
Chon menyajikan suatu pendekatan yang disebut multidimensional. Ia beranjak dari tiga klasifikasi kawasan yaitu intelektual, artistic dan social. Tiga kawasan itu ditambah lagi dengan kawasan kemanusiaan yang lain. Setiap kawasan tersebut terdeferensiasikan lagi dalam berbagai aspek.
Demikian kawasan intelektual terbagi lagi dalam aspek kuantitatif, verbal, special dan beberapa dimensi khusus lainnya. Kawasan artistic mencangkup aspek seni rupa, seni pertunjukan dan dimensi khusus artistic tertentu.
Demikian kawasan social mencangkup bakat altruistic dan empati, kepemimpinan dan dimensi khusus tertentu lainnya. Kawasan tambahan lain mencangkup kemampuan kemanusiaan yang lain yang terbagi dalam berbagai kekhususan.
3. Model Gagne
Perumusan Gegne tentang keberbakatan berbeda dari perumusan ahli lainnya. Sebab amat membedakan keberbakatan intelektual (gifted) dan perolehan hasil belajar skolastik. Sementara keberbakatan lainnya (talented) terutama terkait dengan kualitas kepemimpinan, kinerja mekanik, keterampilan manipulative,dan eksprsi seni music, literature serta hubungan kemanusiaan dan kemajuan kemanusiaan lainnya. (Khatena, J, 1992). Giftedness adalah erasi dengan kompetensi atau aptitude di atas rata-rata dalam berbagai kemampuan manusia, sedangkan talent adalah situasi tampilnya kinerja atau kemampuan di atas rata-rata dalam berbagai aktivitas. Aptitude terbagi lagi menjadi empat kategori, yaitu intelektual, kreatif, sosioafektif dan sensorimotorik sedangkan talent terbagi menjadi lima kategori yaitu akademik, teknik artistic, inter-personal dan atletik. (Gagne, F , dalam Calangelo & Davis, 1991).
Dalam menjelaskan konsep katalisator, Gagne memaparkan pengertian tersbut sebagai pemandu positif atau negative yang menjadikan aptitude terwujud menjadi talented.Dua tipe katalisator dibedakan Gagne, yaitu yang sifatnya interpersonal yaitu ingin tahu, motivasi, ketekunan dan kemandirian, dan yang berasal dari lingkungan, yaitu orang tua, teman sebaya , sekolah dan sebagainya. (Gagne dalam Calangelo & David, 1991).
Apatitude banyak menunjuk pada proses terwujudnya sesuatu sebagai cirri seseorang dan banyak dipengaruhi oleh potensi heriditer, sedangkan talented menunjuk pada hasil daripada suatu kegiatan.Apatitude sebaiknya diidentifikasi melalui tes psikologis, sedangkan talent sebaiknya ditandai melalui kinerja atau pertunjukan tertantu. (Gagne dalam Calangelo & David, 1991). Pada sub bab sebelumnya Renzulli telah memperkenalkan suatu pola identifikasi SEM sebagai upaya menjaring anak berbakat seoptimal mungkin dalam arti jumlah maupun cirri-cirinya. Pembelajaran bagi anak berbakat selain ditandai oleh kemampuan intelektual, lebih banyak dipengaruhi oleh kawasan non intelektual. Jadi, konsep identifikasi program pendidikan seharusnya memperhitungkan kawasan-kawasan yang saling terkait tersebut untuk memberikan peluang pendidikan luar biasa sesuai kebutuhannya.
Kritik Gagne terhadap paradigm Renzulli memaparkan bahwa motivasi yang diandalkan tersebut sukar dicari pada mereka yang disebut “underachievers” karena jarang anak seperti itu mengungkapkan keterlekatan pada tugasnya (komitmen). Demikianpun kreativitas hanya diperlukan bagi beberapa bidang tertentu,dan tidak atau kurang dapat terungkapkan umpamanya dalam interpretasi suatu pertunjukan tertentu, kinerja atau keterampilan tertentu. (Khatena, 1992).
Gagne juga mengkritik model Cohn menyatakan bahwa implikasi tentang struktur hierarki yang disajikan oleh Cohn melalui empat kawasan kemampuan menjadi masalah utama. Karena dengan model ini keunggulan dibatasi pada satu bidang saja, pada hal bakat tertentu bisa beranjak dari kombinasi berbagai bidang. (Khatena, 1992).
Gagne sendiri tidak terlepas dari kritik tentang pengertian komponen aptitude sehingga Anastasi menyarankan menggunakan istilah “developed abilities”. Karena aptitude tidak semata-mata menunjuk pada cirri seseorang yang terutama diperoleh karena pengaruh herediter. Dalam hal ini Gagne menangkis Anastasi dengan mengatakan bahwa Anastasi bisa menerima istilah capacity yang sebelumnya pernah digunakan, dan yang menunjuk pada perilaku kini yang merupakan indikator terhadap prilaku yang akan dating, sebenarnya tidak ada perbedaan antara istilah aptitude dan capacity (Gagne dalam Colangelo & Davis, 1991).
4. Model Sternberg
Pendekatan Sternberg didasarkan pada teori komponen intelegensi manusia. Sternberg menganalisa pengatasan masalah manusia (human problem solving) sebagai cakupan proses informasi elementer atau komponen, yang memilki lima fungsi matematika; kinerja; perolehan; retensi dan transfer (Kitano & Kirby, 1986). Menurut Sternberg teori keberbakatan intelektual harus difahami dengan berfungsinya secara superior aktivitas dan umpan balik dari komponen informasi yang semuanya bisa dilatihkan.
Metakomponen dideskripsikan sebagai fungsi eksekutif perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengatasan masalah. Enam metakomponen yang diperkenalkan yaitu:
a. Mengenal masalah yang menunjuk pada berfungsinya pengenalan masalah dengan merumuskan.
b. Perkiraan langkah-langkah masalah.
c. Seleksi strategis pengatasan masalah yang diikuti dengan penetapan langkah-langkah.
d. Seleksi penyajian informasi dan cara yang terbaik mengkonseptualisasi masalah.
e. Pengambilan keputusan berkenaan dengan alokasi sumber-sumber komponen sesuai dengan waktu dan kemampuan yang ada.
f. Umpan balik dengan kemungkinan perbaikan atau perubahan yang bersifat fleksibel bila diperlukan.
Komponen kinerja terdiri dari tujuh proses untuk melaksanakan strategi pengatasan masalah sebagaimana direncanakan melalui komponen, yaitu:
a. Encoding : identifikasi masalah mencakup pencatatan fakta relevan.
b. Inference : menghubungkan obyek dan ide yang relevan.
c. Mapping : menghubungkan ciri kawasan tertentu dengan kawasan lain.
d. Application: ramalan yang didasarkan pada situasi atau kejadian yang dapat diterapkan dalam situasi lain.
e. Comparison: membandingkan ramalan pada proses penerapan dengan alternatif lain.
f. Justification: verifikasi terhadap pilihan lain.
g. Respons : komunikasi pengatasan masalah dengan menulis paper.
Kemampuan perolehan adalah keterampilan yang dipakai untuk belajar informasi baru. Retensi mencakup memproduksikan kembali informasi yang sudah diperoleh, sedangkan transfer menunjuk pada generalisasi informasi dari konteks yang satu ke konteks yang lain. (Kitano & Kirby, 1986).
Dibandingkan dengan ketiga model lainnya, teori komponen Sternberg tentang proses informasi memiliki dua implikasi utama bagi keberbakatan intelektual, yaitu :
a. Keberbakatan merupakan akses superior terhadap implementasi komponen informasi-proses, terutama dengan menggunakan umpan balik terhadap komponen lainnya.
b. Melatih orang informasi dan pelayanan implementasinya, akan bias menjadikan orang paling tidak lebih intlegen, atau menjadi berbakat. (Kitano & Kirby, 1986).
Berdasarkan penelitian empirisnya juga menyatakan bahwa orang berbakat memiliki kemampuan pemahaman lebih dalam dari orang lain. Hal tersebut terkait dengan kemampuan membedakan informasi yang relevan dan yang tidak relevan (selective), pandai mensintesakan informasi yang selektif dalam suatu keseluruhan dan kemampuan menghubungkan informasi yang baru dengan informasi sebelumnya sudah perolehannya.
2. Instrumen Identifikasi
Kriteria instrumen yang baik
1) valid
2) reliabel
3) obyektif
4) praktis
5) ekonomis
D. STRATEGI dan PRINSIF DIFERENSIASI KURIKULUM BAGI ANAK CIBI DISEKOLAH dalam SETTING INKLUSI
Guru kelas atau guru bidang studi di sekolah reguler bersama-sama guru Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau Pendidikan Khusus (PKh) sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus terlebih dahulu perlu menjabarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam rencana pembelajaran reguler, modifikasi pembelajaran serta program pengajaran individual (PPI) untuk anak berkebutuhan khusus.
PPI merupakan rencana pengajaran yang dirancang untuk satu orang peserta didik yang berkebutuhan khusus atau yang memiliki kecerdasan/bakat istimewa. PPI harus merupakan program yang dinamis artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan peserta didik, dan disusun oleh sebuah tim terdiri dari orang tua/wali murid, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus/ PLB, dan peserta didik yang bersangkutan yang disusun secara besama-sama.
Idealnya PPI tersebut disusun oleh tim terdiri dari Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Tenaga ahli dan Profesi terkait, orang tua/wali murid, guru kelas, guru mata pelajaran dan guru pendidikan khusus/PLB, serta peserta didik yang bersangkutan.
Strategi Pembelajaran Berdiferensiasi Dalam mendiferensiasikan pengajaran, guru bisa melakukan modifikasi terhadap lima unsur kegiatan mengajar, yaitu materi pelajaran, proses, produk, lingkungan dan evaluasi (Howard, 1999; Weinbrenner, 2001)
1. Substansi Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran, guru harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua siswa mempelajari materi pelajaran dalam kurikulum yang harus dikuasai siswa. Namun, guru tidak harus mengajarkan materi pelajaran tersebut pada semua siswa. Artinya, siswa yang telah menguasai kompetensi atau bahan ajar tertentu boleh mengurangi waktu yang diperlukan untuk menguasai kompetensi dan bahan ajar itu. Mereka boleh meloncatinya. Materi pelajaran dapat dimodifikasi melalui berbagai kegiatan pembelajaran, antara lain:
a. Pemadatan materi pelajaran,
Yaitu sebuah strategi untuk merampingkan waktu yang dihabiskan siswa untuk menyelesaikan kurikulum reguler. Dalam memadatkan materi pelajaran, guru harus menentukan kompentensi atau bahan ajar apa yang telah dikuasai siswa dan apa yang masih harus dipelajarinya, dan kemudian menggantikan kompetensi atau bahan ajar yang telah dikuasai tersebut dengan materi lain yang lebih menantang. Untuk itu, guru harus mempertimbangkan minat siswa karena siswa dituntut untuk menunjukkan komitmen, tanggung jawab dan kemandirian dalam melakukan tugas menantang
Ada delapan langkah untuk memadatkan materi pelajaran, yaitu:
(1) Tentukan tujuan pembelajaran pada materi yang akan diajarkan;
(2) Cari cara yang sesuai untuk mengevaluasi tujuan pembelajaran tersebut;
(3) Identifikasi siswa yang mungkin telah menguasai tujuan (atau dapat menguasainya dengan lebih cepat);
(4) Evaluasi siswa-siswa tersebut untuk menen-tukan tingkat penguasaan;
(5) Kurangi waktu yang diperlukan siswa untuk mempelajari materi yang telah dikuasai;
(6) Berikan pengajaran pada sekelompok kecil atau siswa secara individu, yang belum menguasai tujuan pembelajaran di atas, tetapi dapat menguasainya lebih cepat dari teman-teman lainnya;
(7) Dokumentasikan kegia-tan belajar pengganti yang lebih menantang, yang sesuai dengan minat siswa;
(8) Dokumentasikan proses pemadatan dan opsi pembelajaran.
b. Studi intradisiplin,
Yaitu studi atas satu tema atau topik dengan melibatkan mata pelajaran lain yang relevan. Guru mata pelajaran yang ingin memodifikasi topik atau tema tertentu dari materi pelajaran, dapat bekerjasama dengan guru mata pelajaran yang lain yang relevan. Selanjutnya, mereka dapat mengeksplorasi bentuk kegiatan pembelajaran yang mungkin dilakukan.
c. Kajian mendalam.
Cara ini bisa dilakukan oleh siswa berbakat bila mereka sudah siap dengan pengetahuan, kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, waktu dan enerji yang dibutuhkan untuk tugas ini. Minat siswa pada suatu topik merupakan penentu utama dari ke-mauan untuk mengeksplorasi topik itu secara mendalam.
2. Proses
Banyak kegiatan yang bisa dilakukan oleh guru untuk memodifikasi proses pengajaran dan pembelajaran, antara lain dengan:  Mengembangkan kecakapan berpikir. Siswa berbakat perlu untuk mengembangkan kecakapan berpikir analitis, organisasional, kritis dan kreatif. Guru dapat mengajarkan secara langsung kecakapan ini, atau memadukannya dalam materi pelajaran. Kecakapan berpikir juga bisa dikembangkan melalui teknik bertanya.
 Hubungan dalam dan lintas disiplin. Untuk itu, siswa berbakat memerlukan kecakapan berpikir tingkat tinggi, terutama kemampuan menganalisis, menyintesis, mengaplikasi dan mengevaluasi. Siswa berbakat dianggap siap untuk belajar dengan kecakapan berpikir yang lebih tinggi bila mereka memiliki kecakapan untuk memecah satu ide atau konsep ke dalam bagian-bagian penting; mengatur kembali fakta-fakta, konsep dan ide ke dalam satu kombinasi baru; mengaplikasikan apa yang telah mereka kuasai dengan cara yang baru dan kreatif; danmenentukan nilai suatu ide.
 Studi mandiri, merupakan alternatif lain dalam memodifikasi proses. Sebagian siswa berbakat senang bekerja sendiri, mulai dari menentukan topik yang menjadi fokus studi, menentukan cara dan waktu penyelesaian, menentukan sumber untuk melakukan studi hingga menentukan format produk akhir studi. Guru dapat memfasilitasi studi mandiri dengan cara mengelompokkan siswa berdasarkan minat yang sama. Bila seorang siswa benarbenar ingin lebih mendalami suatu topik, guru bisa menawarkan satu kontrak studi mandiri bagi siswa yang bersangkutan.
3. Produk
Dalam memodifikasi produk, guru dapat mendorong siswa untuk mende-monstrasikan apa yang telah dipelajari atau dikerjakan ke dalam beragam format yang mencerminkan pengetahuan maupun kemampuan untuk memanipulasi ide. Misalnya daripada meminta siswa untuk menambah jumlah halaman laporan dari suatu bab, guru bisa meminta siswa untuk menyintesis pengetahuan yang telah diperoleh. Guru juga bisa memberikan kesempatan pada siswa berbakat untuk menginvestigasi masalah riil yang terjadi di sekitarnya dan mempresentasikan solusinya. Misalnya, siswa diminta untuk menginvestigasi polusi dari emisi kendaraan atau polusi air kali, dan hasilnya bisa di-sampaikan pada instansi pemerintah atau swasta yang terkait.
4. Lingkungan Belajar
Iklim belajar di kelas merupakan faktor yang berpengaruh langsung pada gaya belajar dan minat siswa. Sikap guru lah yang sangat menentukan iklim di dalam kelas. Lingkungan belajar yang sesuai adalah yang mengandung kebe-basan memilih dalam satu displin; kesempatan untuk mempraktikkan krea-tivitas; interaksi kelompok; kemandirian dalam belajar; kompleksitas pemikiran; keterbukaan terhadap ide; mobilitas gerak; menerima opini; dan meren-tangkan belajar hingga keluar ruang kelas. Untuk itu, guru harus mampu membuat pilihan-pilihan yang sesuai mulai dari apa yang akan diajarkan, ba-gaimana mengajarkannya, materi dan sumber daya apa yang perlu disediakan hingga bagaimana mengevaluasi pertumbuhan belajar siswa.
5. Evaluasi
Memodifikasi evaluasi berarti menentukan suatu metode untuk mendokumentasikan penguasaan materi pelajaran pada siswa berbakat. Guru harus memastikan bahwa siswa berbakat memiliki kesempatan untuk mendemonstrasikan penguasaan materi pelajaran sebelumnya ketika akan mengajarkan pokok bahasan, topik, atau unit baru mata pelajaran. Guru juga harus mendorong mereka untuk mengembangkan rubrik atau metode lain untuk mengevaluasi proyek atau hasil studi mandiri mereka.
E. FRAMEWORK PENGEMBANGAN KURIKULUM.
Pengembangan kurikulum bagi anak CIBI harus mengacu pada kebutuhan individual. Oleh karena itu dibutuhkan program pendidikan individual (individualized educational program ).
Tujuan system kerja (framework) pengembangan kurikulum yaitu untuk menjamin bahwa setiap anak berkelainan memiliki suatu program yang disesuaikan dengan individu untuk memenuhi kebutuhannya yang unik dan mengkomunikasikannya dalam bentuk tulisan bagi semua individu tentang semua hakikat siswa.
Framework memiliki tahapan-tahapan , sebagai berikut :
a. Menetapkan anak sebagai yang berhak mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui suatu Tim.
Dalam tahap ini , penetapan anak dapat terjadi ketika anak sebelum sekolah atau sesudah sekolah.
b. Mengases kekuatan, kelemahan, dan minat.
Pada tahap ini akan ditentukan apakah ini cacat atau berbakat, apakah mereka membutuhkan pendidikan khusus, dan tipe-tipe layanan apa yang diperlukan.
c. Melakukan identifikasi. Pada tahap ini menentukan, apakah anak tersebut memiliki kecacatan atau keterbelakangan tunggal atau jamak.
d. Menganalisi layanan
Pada ahli yang bekerja melayani anak berkebutuhan khusus sering kali menunjukkan layanannya diatas kemampuan guru PLB, misalnya : physical therapist, accopational therapist, interpreter, dan sebagainya.
e. Menentukan penempatan
Tahap ini berkenaan dengan penentuan penempatan bagi siswa. Penempatan mencakup dua konsep yang kritis dan controversial, yaitu lingkungan yang sedikit terpisah (least restrictive environment atau LRE) dan pendidikan public yang sesuai.
f. Membuat keputusan instruksional
Pada tahap ini keputusan yang harus dibuat adaah program pendidikan apa yang diterima oleh anak.
g. Mendesain metode dan prosedur instruksional untuk memenuhi tujuan
Pengalaman belajar menggunakan IEP menjelaskan bagaimana setiap tujuan yang akan dicapai
h. Menentukan metode untuk mengevaluasi kemajuan
Metode evaluasi seharusnya menilai tingkat mana dari setiap tujuan yang telah dicapai. Jika mungkin, kriteria dapat diamati dan obyektif seharusnya dirumuskan secara spesfik.
IEP seharusnya di-update secara terus menerus . IEP berperan sebagai panduan yang dapat dan seharusnya disesuaikan dengan perubahan kebutuhan anak. Modifikasi yang mendasar seharusnya dikomunikasikan kepada orang tua untuk bahan penilaian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut definisi yang dikemukakan Renzuli, anak berbakat memiliki pengertian, “anak berbakat merupakan satu interaksi dantara tiga sifat dasar manusia yang menyatu ikatan terdiri dari kemampuan umum dengan tingkatnya di atas kemampuan rata-rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas-tugas dan kretivitas yang tinggi. Anak berbakat ialah anak yang memiliki kecakapan dalam mengembangkan gabungan ketiga sifat ini dan mengaplikasikan dalam setiap tindakan yang bernilai. Anak-anak yang mampu mewujudkan ketiga sifat itu masyarakat memperoleh kesempatan pendidikan yang luas dan pelayanan yang berbeda dengan program-program pengajaran yang regular. (Swssing,1985)
Anak-anak gifted bukanlah anak dengan populasi seragam, ia mempunyai banyak variasi, baik variasi pola tumbuh kembangnya, variasi personalitasnya, maupun variasi keberbakatannya. Semakin tinggi perkembangan inteligensianya, maka akan terjadi deskrepansi (perbedaan) di berbagai domain perkembangan. Deskrepansi ini bukan saja akan menyangkut perkembangan dalam individu, tetapi juga akan menyangkut perkembangan antar individu. Kondisi inilah yang sering membawa berbagai kesulitan pada anak-anak gifted dan sering salah terinterpretasi (Silverman, 2004).
Identifikasi dapat diartikan proses mengenali anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa sehingga diperlukan layanan berdiferensiasi agar mereka dapat berkembang secara penuh seperti potensi yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
 http://yuniarsoadi.blogspot.com/2012/02/anak-cerdas-dan-anak-berbakat.html
 http://putusutrisna.blogspot.com/2012/02/memahami-anak-cerdas-dan-berbakat.html
 http://cibisman1bks.blogspot.com/2011/05/memahami-anak-cerdasberbakat-istimewa.html
 http://cibisman1bks.blogspot.com/2011/05/memahami-anak-cerdasberbakat-istimewa.html
 http://www.santosasmaga.blogspot.com/2012/07/anak-cerdas-istimewa-bakat-istimewa.html,

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Saat Ospek Mahasiswa 2011